Bersembunyi Dari Pencuri
Suatu malam seorang pencuri membobol rumah Nasruddin. Untung saja
Nasruddin melihatnya. Karena takut, dengan cepat Nasruddin bersembunyi
di dalam sebuah kotak besar yang terletak di sudut ruangan.
Si pencuri sedang mengaduk-aduk isi rumah Nasruddin mencari uang ataupun
barang berharga yang dimiliki Nasruddin. Dia membuka lemari, laci-laci,
kolong-kolong, dan lain-lain. la tapi tidak menemukan satu pun barang
berharga.
Pencuri itu hampir saja menyerah dan memutuskan untuk keluar dari rumah
Nasruddin. Tapi tiba-tiba matanya tertuju pada kotak besar yang terletak
di sudut ruangan kamar Nasruddin. Dia sangat senang karena dia yakin
dalam kotak itulah disimpan harta benda yang dia cari.
Walaupun kotak itu terkunci kuat dari dalam, tapi dengan kekuatan penuh,
pencuri itu berhasil membuka kotak tersebut. Pencuri itu sangat kaget
ketika melihat Nasruddin berada di dalam kotak itu. Pencuri itu sangat
marah dan berkata, "Hei! Apa yang kau lakukan di dalam situ?"
"Aku bersembunyi darimu," jawab Nasruddin.
"Kenapa?"
"Aku malu, karena aku tak punya apapun yang dapat kuberikan padamu. Itulah alasan mengapa aku bersembunyi dalam kotak ini."
Tidak Konsisten Dengan Pengetahuan
Seorang Darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin.
Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa
dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan
melihat perilakunya.
Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya.
"Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang Darwis.
"Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.
Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin
menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian
meniup-niup sopnya.
"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang Darwis.
"Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.
"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si Darwis,
"Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."
Ah, konsistensi.
Senjata Makan Tuan, Ajaran Makan Guru
Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup
seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati
putranya: "Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu.
Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang
baik dan benar."
Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di
dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah
tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat
putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia
membuka mulut,
"Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?" tanyanya.
Kalau menyangkut kebenaran katakan saja," jawab sang ayah.
"Ini memang menyangkut kebenaran," jawabnya.
"Silakan," kata sang ayah. Ia berkata,
"Aku melihat benda panas berwarna merah."
"Benda apa itu?," tanya sang ayah.
"Sepercik api mengenai jubah ayah," jawabnya.
Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar.
"Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?," kata sang ayah. "Aku
harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda
nasihatkan kepadaku tempo hari," jawab putranya dengan lugu.
Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat
pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.
0 komentar:
Posting Komentar